Proses Kreatif Dalam Pembelajaran
Proses Kreatif Dalam Pembelajaran
Oleh: Rina Eny Anawati
Guru SDIT Ummul Quro’ Bogor
(Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 17 Desember 2008)
Proses Kreatif Dalam Pembelajaran. Menciptakan suasana kelas yang penuh inspirasi bagi siswa, kreatif, dan antusias merupakan salah satu tugas dan tanggung jawab seorang guru. Dengan begitu, waktu belajar menjadi saat yang dinanti-nantikan oleh siswa. Namun, tugas ini tidaklah mudah. Apalagi saat ini, di mana era informasi dan teknologi sudah mulai merambah segala aspek kehidupan. Begitu pula persaingan hidup yang menjadi semakin ketat. Bagaimana seorang guru menjadi figur dan contoh kreatif bagi setiap nilai dan pencapaian kompetensi siswa adalah sebagai sebuah tantangan.
Untuk meningkatkan kualitas belajar siswa, dibutuhkan sebuah proses kreatif dalam pembelajaran. Maksudnya adalah upaya-upaya penting yang dilakukan untuk mendayagunakan potensi kognitif dan afektif dari siswa secara optimal, sehingga ide-ide baru dan cerdas lebih terakomodir.
Proses kreatif juga berarti bagaimana membuat setiap siswa memiliki multiperspektif dan cara pandang yang luas terhadap sebuah fakta. Proses kreatif juga berarti bahwa setiap siswa mampu mengamati hal-hal detail yang menjadi rujukan dalam berpendapat maupun menyelesaikan permasalahan, baik untuk dirinya sendiri maupun komunitas dalam masyarakat.
Bagaimana seorang guru bisa menjadi fasilitator proses kreatif dalam pembelajaran? Ada beberapa tahapan yang bisa dilaksanakan.
Pertama, kemampuan untuk mengakomodir gaya belajar setiap siswa. Masing-masing siswa mempunyai pribadi yang unik dan gaya belajar yang berbeda. Ada yang mempunyai kecenderungan kinestetik, visual, maupun audithorial.
Pelajar Kinestetik. Pelajar kinestetik adalah pelajar yang dapat mengasosiasikan informasi dengan gerakan tubuh. Mereka juga menyukai praktik dan proyek terapan.
Pelajar Visual. Pelajar Visual menyukai banyak simbol dan gambar. Mereka juga menyukai peta pikiran (mind mapping), teratur, dan suka akan warna.
Pelajar Auditorial. Sedangkan pelajar audithorial, lebih suka untuk mendengarkan. Mereka menyukai untuk mendengarkan penjelasan, cerita dan petualangan, gagasan, maupun kisah-kisah populer.
Tugas guru sebagai fasilitator adalah bagaimana meramu sebuah metode pembelajaran yang tepat dan dapat mengakomodir berbagai macam gaya belajar siswa tersebut.
Kedua, yaitu suasana belajar yang menggairahkan. Menciptakan suasana belajar yang menggairahkan dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya yaitu menggunakan presentasi pengajaran yang lebih hidup dan menarik bagi setiap siswa. Hal ini dapat dilakukan lewat berbagai media dan alat pengajaran yang tepat, termasuk teknologi tepat guna. Selanjutnya, yaitu menyusun bahan pengajaran yang sesuai, merancang setting kelas, menggunakan musik dan mewarnai lingkungan sekeliling. Salah satu sarana untuk menumbuhkan rasa bangga dan kepercayaan diri yang baik yaitu dengan menempelkan hasil karya siswa tersebut di dinding kelas.
Poin penting lain ialah keterlibatan aktif siswa. Siswa yang mempunyai sikap analitis, kritis, dan pandai menulis membutuhkan dorongan dan stimulasi yang simultan (terus-menerus). Di sinilah peran penting seorang guru yang menjadi fasilitator siswa untuk menumbuhkan rasa ingin tahu, menjelajahi lebih dalam tentang suatu ilmu dan menggali lebih banyak informasi yang ada. Performa guru juga ikut andil untuk ikut menciptakan suasana yang mendukung saat belajar. Guru yang optimis, percaya diri, mempunyai kapasitas keilmuan yang tidak diragukan akan melejitkan potensi siswa dan membuat siswa menjadi optimis dan percaya diri.
Ketiga, yaitu kemampuan menanamkan nilai dan ketrampilan hidup dengan kapasitas yang benar bagi siswa. Di sinilah pentingnya mengajar dengan keteladanan. Sehingga penerapan nilai dalam pribadi guru menjadi utama, karena guru adalah model. Sebagai contoh, keberhasilan menerapkan budaya membaca berawal dari budaya membaca yang terbangun dalam komunitas sekolah, mulai dari para guru kemudian berlanjut kepada siswa.
Kemudian, dalam konteks ini pula, guru memberi stimulasi pada siswa untuk memiliki cara pandang multi perspektif. Tentunya dalam hal ini, sangat dibutuhkan kearifan dalam menambahkan betapa pentingnya nilai hidup yang positif.
Keempat, yaitu menghilangkan segala hambatan dalam belajar. Di antaranya yaitu bagaimana guru membangun interaksi, kedekatan dan komunikasi dengan siswa, baik secara verbal maupun non-verbal. Kemampuan guru menjadi pendengar yang baik, sehingga berbagai macam pendapat baru muncul dan terakomodir adalah hal yang sangat penting. Ajarkan dan lakukan bahwa menghargai semua pendapat dapat memperkaya wawasan dan membuka pikiran.
Namun, kadang kala hambatan belajar yang sifatnya internal, sering muncul dan mendominasi pertemuan. Pola mengajar tradisional yang tidak terbantahkan dan ‘aku selalu benar’ dapat menjadi bumerang bagi individu guru tersebut. Oleh karena itu, singkirkan terlebih dahulu hambatan internal baru kemudian membangun interaksi yang lebih sehat dengan siswa.
Sebuah kelompok peduli matematika di Indonesia, telah berhasil menerapkan proses kreatif dalam pembelajarannya. Beberapa siswa yang dibimbingnya menjadi juara-juara olimpiade matematika tingkat internasional. Lembaga tersebut memberi kita ilustrasi nyata dan inspirasi, bahwa belajar matematika lebih asyik dan mudah dengan logika, tidak hanya terpaku pada buku paket saja.
Beberapa langkah dan tips yang telah dipaparkan di atas semoga dapat membantu kita semua untuk senantiasa menghargai dan melakukan proses kreatif dalam pembelajaran, baik di rumah maupun di sekolah. Dengan didukung profesionalisme dan kompetensi yang terus ditingkatkan, maka kebangkitan pendidikan di Indonesia adalah sebuah kepastian.
Sumber : Harian Republika, 17 Desember 2008 (diedit seperlunya atas seijin penulis)